Sabtu, 05 November 2016

Jokowi dan Ahok; Musibah Besar Bangsa Indonesia

Sesungguhnya terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden ke 7 Indonesia pada 2014 lalu merupakan sebuah musibah besar bagi bangsa ini. Rasa rasanya terlalu banyak kalau saya sebutkan satu persatu dalam tulisan saya ini.

Mulai dari kedekatan rezim Jokowi dengan negara komunis Cina, hingga kasus yang terakhir, Jokowi begitu mati matian membela sang penista Al Quran; Ahok.

Jokowi dengan terang terangan membela ahok dengan tutup mulut, diam. Diamnya Jokowi dapat diartikan pembelaannya dia terhadap Ahok yang sudah jelas menistakan Al Quran. Diamnya Jokowi bisa diartikan adanya kekuatan diatas kekuatan Jokowi yang seolah hendak ingin Ahok tak tersentuh oleh hukum.

Semenjak Jokowi berkuasa, sudah banyak kerusakan yang rezim ini rusak dan jarah, mulai dari digadaikannya aset aset perusahaan milik negara ke tangan Cina, maraknya tenaga kerja ilegal asal Cina dengan seenaknya memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. Belum lagi dalam hal ekonomi, utang Indonesia di rezim ini sudah mencapai total lebih dari 4.247 triliun rupiah (per Juli 2016, sumber BI), padahal jokowi baru menjabat dua tahun, bagaimana kalau genap 5 tahun?

Dalam perpolitikan, jangan kira, Jokowi yang berwajah ndeso ini tak lihai berpolitik. Ia juga rupanya sudah berhasil memecah belah partai partai besar di Indonesia. Golkar dan PPP adalah korbannya. Sepertinya Jokowi memang lihai dan piawai dalam bermain strategi politiknya, hal ini dapat kita lihat dalam kasus dualisme kepengurusan PPP. Jokowi memanfaatkan perpecahan partai kabah tersebut untuk kepentingan politik Ahok, maju sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Musibah yang lain yang dirasakan oleh bangsa Indonesia ialah, kualitas  kepemimpinan Jokowi. Joko Widodo terkenal dengan keinkonsistenannya dalam berbicara. Pagi bicara A sore bicara B. Sore bicara C malam bicara D. Padahal, pemimpin seyognyanya menjadi teladan baik dalam bersikap, berkata dan berjanji. Konsistensi itu kata kuncinya.

Kembali kepada musibah yang diakibatkan oleh ulah Jokowi ini adalah, disaat aksi damai 4 november 2016 ini, ketika jutaan rakyat Indonesia berkumpul untuk menyuarakan aspirasi menuntut penyelesaian skandal penistaan oleh Ahok, Jokowi tidak mau menerima perwakilan demonstran. Malah, Jokowi meninggalkan rakyat, menuju ke Tangerang, meninjau proyek kereta api bandara.

Cara cara Joko Widodo ini jelas sudah terang benderang, melecehkan para ulama, melecehkan peserta aksi, melecehkan rakyat Indonesia dan ummat Islam. Sepertinya proyek kereta api Bandara jauh lebih penting menurut jokowi dibanding dengan jutaan rakyat yang ingin bertemu dan menyampaikan aspirasi untuk menuntut keadilan ditegakkan terhadap penista Al Quran, Ahok.

Saya tidak habis berpikir bagaimana sebetulnya cara berpikir Jokowi dalam menghadapi konflik yang terjadi. Hingga sya sampai pada satu kesimpulan, bahwa Jokowi tidak pandai dalam hal manajemen konflik yang seharusnya dimiliki secara naluriah oleh seorang pemimpin.

Kesimpulan ini didapat, dari keengganan Jokowi menerima perwakilan peserta aksi, padahal, kalau Jokowi mau, sebetulnya beliau dapat memanfaatkan momen sholat Jumat berjamaah di masjid Istiqlal untuk berkomunikasi dengan peserta aksi.

Beliau dapat dengan mudah berkomunikasi dengan ummat Islam. Sholat Jumat bersama sama serta berorasi yang isinya janji untuk mengintruksikan jajaran kepolisian memproses hukum penistaan agama oleh Ahok. Sesederhana itu sebetulnya.

Kini, kami semua semakin yakin. Diposisi mana Jokowi berada saat ini. Membela si penista Al Quran atau membela kami ummat Islam. Keyakinan itulah yang membawa kami untuk senantiasa terus mengawal kasus penistaan agama oleh Ahok ini. Sampai kapanpun.

Semoga, waktu dua pekan yang dijanjikan oleh Jokowi dan Jusuf Kalla kepada kami ummat Islam, dapat dipergunakan dengan sebaik baiknya oleh pihak kepilisian untuk menangkap dan menetapkan ahok sebagai tersangka penistaan agama.

kepada rezim yang berkuasa, mohon untuk tidak mengintervensi proses hukum pihak kepolisian, biarkan polri bekerja seprofesional mungkin. Sehingga, ahok sang penista agama dapat dengan tenang menghadapi proses hukum yang akan ia jalani sebagai konsekwensi hukum atas apa yang telah ia perbuat.

kepada ummat Islam dimanapun berada, teruslah berdoa, semoga Allah subhanahu wata'la, membuka mata hati dan pikiran para pemimpin kita, semoga para pemimpin yang saat ini berkuasa, menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana, takut kepada Rabb nya, dan bukan malah menjadi pembuka jalan musibah bagi bangsa.

Allahu Akbar..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar